Thursday, June 9, 2016

Book Review: The Architecture of Love by Ika Natassa


Judul: THE ARCHITECTURE OF LOVE
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 14 Juni 2016
Format: Signed Paperback
Tebal: 304 halaman
ISBN: 978-602-03-2926-0
Harga: Rp 84.000
Rating: 5/5 stars
-----------------------------------------------------------

"Wah, lama nggak pernah ada review, eh, langsung ngasih lima bintang aja." Mungkin itu yang terbersit pada benak Anda yang pernah singgah beberapa kali di blog saya ini. Mungkin ada juga yang merasa "Ah, ini pasti ikut-ikutan gara-gara bukunya emang lagi ramai dibicarakan." Well, kalau Anda termasuk dua jenis itu, silahkan tidak melanjutkan membaca review ini. Sebab, beberapa orang mungkin akan menganggap saya berlebihan. Tapi, perlu Anda tahu, isi blog ini murni dari pemikiran dan perasaan saya. Tidak perlu lah ikut-ikutan apa kata orang.

Saya masih ingat betul malam itu sepulang kerja, saya leyeh-leyeh tidur di pangkuan Ama (sebutan saya untuk ibu saya) sambil scrolling timeline Twitter. Tiba-tiba, ada salah satu rekan blogger buku saya yang me-retweet salah satu tweet Ika Natassa dan saya somehow penasaran dengan sosok penulis yang sering saya dengar namanya, tapi belum pernah sekalipun karyanya saya baca. Iya, saya ini picky reader. Buku yang berbau misteri, ending yang menggantung, kekerasan, lari-larian, kebanyakan mendapat respon baik dari saya. Oleh karena itu, saya tidak terlalu suka buku karya penulis Indonesia. Hanya sedikit yang saya baca. Kembali ke akun Twitter Ika, di bagian atas sendiri saya langsung disuguhi ini:



Iseng, saya membacanya. "Wah, lucu ini. Alurnya ditentukan pembaca," pikir saya waktu itu. Sayang sekali saya baru tahu dan tidak bisa ikut berpartisipasi. Tapi, kebanyakan pilihan saya sesuai sih sama hasil poling. Tweet by tweet saya baca habis saat itu juga. Kesannya? Luar biasa bikin penasaran. Ada perasaan I WANT MORE but I had to wait for the book. Entah apa yang membuat saya kepincut. Faktor utama sih sepertinya gaya bahasa ya. Sudah lama saya rindu bacaan dengan gaya bahasa seperti Ika. Buku yang banyak saya baca itu terjemahan. Tahu sendiri lah bagaimana hasilnya. Sekalinya ingin baca bacaan ringan, eh, bahasanya terlalu "gaul" seperti yang pernah dikomplain beberapa penerjemah di salah satu grup di Facebook. Gaya bahasa Ika ini pas lah. Tidak terlalu kaku, kalimatnya pas (maklum, profesi sebagai editor bikin saya bawel), dan banyak kalimat berbahasa Inggris yang quotable banget (isn't it what you're looking for, dear Z generation?). Jelas saja hal itu membuat saya memutuskan untuk ikut pre-order yang dilaksanakan 1 Juni lalu.


"People say that Paris is the city of love, but for me, New York deserves the title more. It's impossible not to fall in love with the city like it's almost impossible not to fall in love in the city." - halaman 31


Raia Risjad adalah seorang penulis buku bestseller asal Indonesia. Setelah beberapa lama "mengungsi" ke apartemen temannya, Erin, di New York, itulah dua kalimat yang akhirnya bisa dia tulis. Yap, Raia terserang writer's block, penyakit yang saya harap tidak akan pernah "menyerang" saya di saat-saat krusial (bayangkan, saya punya deadline setiap hari!!). Tapi, kehadiran River Jusuf membuat keadaan berubah. Setiap hari mereka berdua jalan-jalan, mengobrol, dan melakukan kegiatan masing-masing. Raia (akhirnya) menulis untuk novelnya selanjutnya dan River menggambar sketsa bangunan yang dia suka. Dengan kondisi seperti itu, saya sedikit bisa menebak kemana hubungan mereka akan dibawa. Apalagi, masing-masing memiliki masa lalu yang membuat mereka trauma. Saya suka saat River bilang, "Because you're as lost as I am, Raia. And in a city this big, it hurt less when you're not lost alone." Ada yang berharap seseorang juga mengatakan hal yang sama?

Sosok River sering sekali dielu-elukan di Twitter. Banyak yang jadi baper katanya. Bagaimana tidak, si River ini awalnya digambarkan sebagai sosok yang cool as in its literal meaning--dingin. Tidak banyak bicara, senyumnya tipis sekali, tapi juga gentleman. Mirip sosok Rangga di AADC (Ada Apa dengan Cinta) sepertinya. But wait, saya tidak suka mereka disama-samakan. River is way maturer (fangirling mode: ON!). Sayangnya, saking kerennya si River ini, (sepertinya) banyak yang tidak mengetahui kehebatan sosok Raia. Saya sangat suka dengan cara berpikirnya. Mungkin karena saya bisa relate dengan banyak hal dalam hidupnya. Saya suka saat dia membuatkan mie instan instead of ngomel-ngomel setelah diperlakukan kasar oleh River. Saya suka saat dia masih mau menemani River makan malam. Tapi, yang paling penting, saya sangat suka saat dia membela profesinya sebagai penulis. Iya, profesi yang dalam dunia nyata memang masih dipandang sebelah mata. Personally, saya merasa menghitung soal rumit matematika itu lebih mudah dibandingkan mengarang sebuah cerpen. Proses kreatifnya itu lho yang tolong banget dihargai.

Keputusan Ika menciptakan sosok Raia yang penulis buku-buku bestseller ini membuat saya bertanya-tanya, "Apakah ini tentang dia?" Well, maybe yes, maybe not. Anda ingin tahu seperti apa kehidupan penulis? Silahkan baca buku ini. Anda ingin tahu seperti apa rasanya berjalan-jalan di New York, silahkan baca buku ini. Ah, ya, New York. Menggambarkan the mighty city New York ini tidak mudah lho. Tapi, Ika sukses membuat saya benar-benar menikmatinya. Bukan sekedar tahu ya. Saya pernah membaca Just One Day-nya Gayle Forman. Sama seperti TAoL, kedua karakter utama jalan-jalan mengelilingi Paris. Sayangnya, saya sama sekali tidak bisa merasakan keindahan Paris. Tidak mengena di hati. Bukankah kita membaca buku untuk mendapat pengalaman baru? It means tulisan yang sukses bisa membawa pembaca seolah-olah ada di sana kan? Itulah yang saya rasakan saat membaca TAoL. Meski Ika menceritakan banyak tempat, saya tidak pernah merasa too much. They complete the story perfectly. Apalagi, Ika menambahkan beberapa ilustrasi cantik tentang tempat-tempat yang Raia dan River singgahi nih. I'm always amazed by people who can draw.


To sum of all, saya berani memberi novel ini rating 5 bintang karena feeling yang sukses diciptakannya. Sudah sangat lama saya tidak merasakan hal seperti ini. Saat Raia sedih, saya merasa sesak. Saat River teringat masa lalunya dan bagaimana perlakuan ibunya selama ini, saya menitikkan air mata. Terima kasih, Ika Natassa. Saya benar-benar banyak belajar, khususnya tentang kehidupan, dari buku terbarumu ini. Terima kasih karena telah memberi saya pengalaman baru, khususnya saat pre-order. Oh ya, saya ingat nih. Ada salah satu teman saya yang menganggap orang-orang yang bangga karena sukses ikut pre-order itu orang alay (termasuk saya). Saya cukup heran karena seingat saya dialah yang sering mengelu-eluka karya Ika. Well, he has his own reason. No offense taken anyway. Ups, hampir lupa. Saya senang sekali bisa mendapat wooden bookmark yang dulu cuma ada di Australia. Sayangnya, wooden bookmark TAoL terlalu tebal nih. Kasihan bukunya kalau nanti jadi "gemuk" saat dikasih bookmark kayu itu. Seharusnya sih bisa lebih tipis kayak tripleks tapi kaku dan kuat.

2 komentar: