Penulis: Yosephine Monica
Penyunting: Tia Widiana
Proofreader: Dini Novita Sari
Penerbit: Penerbit Haru
Cetakan I, Juni 2014
Tebal: 330 Halaman
Harga: 45.900 (Owl Bookstore)
This book was given free in exchange for an honest review and blog tour
-----------------------------------------------------------------------------------------
Sudah pernah baca buku The Fault in Our Stars karya John Green? Yap, cerita yang diusung oleh Yosephine Monica tidak berbeda jauh. Genre-nya sama. Tapi menurutku, buku ini jauh lebih baik (sorry to say) karena feeling yang aku rasain setelah membaca buku ini lebih dapet, daripada TFiOS yang terasa flat-flat aja. Menitikkan setetes air mata pun enggak. Next time aku bakal bikin review buku biru itu deh. But don't get your hope high soalnya buat nulis review aja aku males banget he he he.
So let's talk about the story. People Like Us bercerita tentang Amelia Collins, gadis berumur 15 tahun yang termasuk anak 'standar'; tidak cantik, tidak jelek, tidak pintar, dan tidak bodoh. Dia sangat suka menulis. Bisa dibilang tulisan di blognya populer di sekolah. Tapi, Amy, panggilan akrabnya, nggak cuma dikenal sebagai penulis handal. Dia juga dikenal sebagai penguntit Benjamin Miller, seorang bintang sepak bola sekolah. Sebenarnya, kecintaan Amy pada Ben nggak berawal saat di high school saja. She'd known him for several years ago. Hanya saja, Ben sama sekali nggak ingat akan sosok Amy.
But faith has its own way. Amy divonis kanker. Lana, sahabatnya, membujuk Ben agar menjenguk Amy sesekali di rumah sakit. Awalnya sih Ben males banget. Siapa sih yang mau menjenguk stalker sendiri? Gengsi, Bro! Tapi, pandangan Amy tentang dunia, termasuk pandangan Amy tentang Ben yang ternyata suka menulis, membuat Ben terpesona.
Kisah pun berlanjut dengan kedekatan mereka berdua. Nggak hanya itu, proses perubahan Ben yang lebih terbuka dengan adiknya, Margareth, juga dibahas. Itulah yang bikin aku berani memberi 4/5 bintang untuk buku ini. Ceritanya sangat kompleks, mulai dari percintaan, pertemanan, keluarga, dan yang penting adalah mencapai mimpi. Menurutku, kedua main character memang struggle untuk mencapai mimpi masing-masing.
Meski banyak sekali hal yang dibahas, aku merasa porsi masing-masing sangat pas. The romance nggak sampai bikin aku "yaiks, too much". Justru kedekatan mereka berjalan pelan tapi nggak membosankan. Sedangkan hubungan Ben dan Margaret malah menyentuh banget :') Bayangin aja deh sosok cowok paling keren di sekolah yang terkenal jaim dan kaku ternyata lunak juga kalau sama adiknya. Sweet, right?
Itulah yang bikin aku merasa buku ini jauh lebih baik dari The Fault in Our Stars. Buku YA fenomenal karya John Green itu terlalu fokus sama kisah cinta Hazel dan Augustus. Meski diceritakan kalau mereka berdua saling terpesona dengan pandangan hidup masing-masing, feel itu nggak dapet. Aku nggak merasa ada character development, which makes me so mad because WHAT THE POINT then??
Tapi, yang bikin aku heran dengan People Like Us, kenapa harus pakai karakter bule dan setting di luar negeri? As far as I know, penerbit bakal bertanya ke penulis apa hal itu ngaruh banget ke cerita. Kesan Indonesia-nya jadi kurang deh he he he. Oh ya, ada hal lain yang aku suka dari buku ini. Setiap awal chapter, selalu ada catatan penulis. Bukan puisi sih, tapi layout-nya seperti puisi. Apa lebih cocok disebut pengantar chapter? Pokoknya, it helps the reader a lot. Selain bikin penasaran, pembaca jadi merasa kayak baca sebuah buku diary atau sedang didongengi. Good idea, Yosephine Monica! ;)
*Mau tahu lebih banyak tentang buku ini? Baca aja interview-ku dengan sang penulis di sini dan karakter-karakternya di sini.
But faith has its own way. Amy divonis kanker. Lana, sahabatnya, membujuk Ben agar menjenguk Amy sesekali di rumah sakit. Awalnya sih Ben males banget. Siapa sih yang mau menjenguk stalker sendiri? Gengsi, Bro! Tapi, pandangan Amy tentang dunia, termasuk pandangan Amy tentang Ben yang ternyata suka menulis, membuat Ben terpesona.
Kadang kita memilih pilihan yang baik,
kadang kita memilih yang buruk.
Sering kali, dalam beberapa kasus,
Ben memilih pilihan yang tidak tepat.
Dia memutuskan untuk tidak mengembangkan
kemampuan menulisnya. Dia memutuskan untuk
tidak membuka diri pada keluarganya.
Dia memutuskan untuk melepaskan Irina.
Dia memutuskan untuk terjerat dalam kesedihan yang panjang.
Pilihan yang salah, menurutku,
karena hal-hal itu membuatnya tidak bahagia.
Lalu Ben bertemu Amy...
Kisah pun berlanjut dengan kedekatan mereka berdua. Nggak hanya itu, proses perubahan Ben yang lebih terbuka dengan adiknya, Margareth, juga dibahas. Itulah yang bikin aku berani memberi 4/5 bintang untuk buku ini. Ceritanya sangat kompleks, mulai dari percintaan, pertemanan, keluarga, dan yang penting adalah mencapai mimpi. Menurutku, kedua main character memang struggle untuk mencapai mimpi masing-masing.
Meski banyak sekali hal yang dibahas, aku merasa porsi masing-masing sangat pas. The romance nggak sampai bikin aku "yaiks, too much". Justru kedekatan mereka berjalan pelan tapi nggak membosankan. Sedangkan hubungan Ben dan Margaret malah menyentuh banget :') Bayangin aja deh sosok cowok paling keren di sekolah yang terkenal jaim dan kaku ternyata lunak juga kalau sama adiknya. Sweet, right?
Itulah yang bikin aku merasa buku ini jauh lebih baik dari The Fault in Our Stars. Buku YA fenomenal karya John Green itu terlalu fokus sama kisah cinta Hazel dan Augustus. Meski diceritakan kalau mereka berdua saling terpesona dengan pandangan hidup masing-masing, feel itu nggak dapet. Aku nggak merasa ada character development, which makes me so mad because WHAT THE POINT then??
Tapi, yang bikin aku heran dengan People Like Us, kenapa harus pakai karakter bule dan setting di luar negeri? As far as I know, penerbit bakal bertanya ke penulis apa hal itu ngaruh banget ke cerita. Kesan Indonesia-nya jadi kurang deh he he he. Oh ya, ada hal lain yang aku suka dari buku ini. Setiap awal chapter, selalu ada catatan penulis. Bukan puisi sih, tapi layout-nya seperti puisi. Apa lebih cocok disebut pengantar chapter? Pokoknya, it helps the reader a lot. Selain bikin penasaran, pembaca jadi merasa kayak baca sebuah buku diary atau sedang didongengi. Good idea, Yosephine Monica! ;)
*Mau tahu lebih banyak tentang buku ini? Baca aja interview-ku dengan sang penulis di sini dan karakter-karakternya di sini.
Halo salam kenal, Mbak :D
ReplyDeletewih ini buku udah masuk wishlist sejak lama (yang belom kebei juga *sigh*). dipikir-pikir bener juga yah, harusnya settingnya di Indonesia aja biar gregetnya lebih kerasa hehe :D
Aku udah baca... iya feel-nya dapet banget, sumpah!! #hiks
ReplyDeleteDiriku aja masih belum baca TFIOS, padahal udah wishlist dari dulu belum kesampaian juga -_-
penulisannya emang rapi buku ini :D
ReplyDeletetapi pas baca aku nggak sampai rasa sedih gimana, sih.
btw, buku yang jadi juara 2 lomba menulisnya Haru, yang terbit setelah People Like Us, juga pakai setting luar sih. Jadi, mungkin memang disengaja?
Sebenernya buku genre contemporary itu bagus ga sih? agak takut beli buku jenis ini, takut ditengah jalan ga cocok sama jalan ceritanya terus break-out deh, kan sayang beli-beli ga di baca, hehe. tapi kalo liat dari reviewnya kayaknya bagus deh, kapan-kapan mau nyobain beli trus baca deh :)
ReplyDeleteBaca riview nya kaka buat aku pengen banget baca buku ini, pengen tau gimana kelanjutan kisah nya Ben dan Amy.
ReplyDelete