Judul: THE ARCHITECTURE OF LOVE
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 14 Juni 2016
Format: Signed Paperback
Tebal: 304 halaman
ISBN: 978-602-03-2926-0
Harga: Rp 84.000
Rating: 5/5 stars
-----------------------------------------------------------
"Wah, lama nggak pernah ada review, eh, langsung ngasih lima bintang aja." Mungkin itu yang terbersit pada benak Anda yang pernah singgah beberapa kali di blog saya ini. Mungkin ada juga yang merasa "Ah, ini pasti ikut-ikutan gara-gara bukunya emang lagi ramai dibicarakan." Well, kalau Anda termasuk dua jenis itu, silahkan tidak melanjutkan membaca review ini. Sebab, beberapa orang mungkin akan menganggap saya berlebihan. Tapi, perlu Anda tahu, isi blog ini murni dari pemikiran dan perasaan saya. Tidak perlu lah ikut-ikutan apa kata orang.
Saya masih ingat betul malam itu sepulang kerja, saya leyeh-leyeh tidur di pangkuan Ama (sebutan saya untuk ibu saya) sambil scrolling timeline Twitter. Tiba-tiba, ada salah satu rekan blogger buku saya yang me-retweet salah satu tweet Ika Natassa dan saya somehow penasaran dengan sosok penulis yang sering saya dengar namanya, tapi belum pernah sekalipun karyanya saya baca. Iya, saya ini picky reader. Buku yang berbau misteri, ending yang menggantung, kekerasan, lari-larian, kebanyakan mendapat respon baik dari saya. Oleh karena itu, saya tidak terlalu suka buku karya penulis Indonesia. Hanya sedikit yang saya baca. Kembali ke akun Twitter Ika, di bagian atas sendiri saya langsung disuguhi ini:
The Architecture of Love is my new writing project with @TwitterID, read complete episodes: https://t.co/zj1YqjLQqD pic.twitter.com/s9r5KWd9bm— Ika Natassa (@ikanatassa) January 24, 2016
Iseng, saya membacanya. "Wah, lucu ini. Alurnya ditentukan pembaca," pikir saya waktu itu. Sayang sekali saya baru tahu dan tidak bisa ikut berpartisipasi. Tapi, kebanyakan pilihan saya sesuai sih sama hasil poling. Tweet by tweet saya baca habis saat itu juga. Kesannya? Luar biasa bikin penasaran. Ada perasaan I WANT MORE but I had to wait for the book. Entah apa yang membuat saya kepincut. Faktor utama sih sepertinya gaya bahasa ya. Sudah lama saya rindu bacaan dengan gaya bahasa seperti Ika. Buku yang banyak saya baca itu terjemahan. Tahu sendiri lah bagaimana hasilnya. Sekalinya ingin baca bacaan ringan, eh, bahasanya terlalu "gaul" seperti yang pernah dikomplain beberapa penerjemah di salah satu grup di Facebook. Gaya bahasa Ika ini pas lah. Tidak terlalu kaku, kalimatnya pas (maklum, profesi sebagai editor bikin saya bawel), dan banyak kalimat berbahasa Inggris yang quotable banget (isn't it what you're looking for, dear Z generation?). Jelas saja hal itu membuat saya memutuskan untuk ikut pre-order yang dilaksanakan 1 Juni lalu.